Kita ngga bisa milih mau dilahirkan dan dibesarkan di keluarga yang seperti apa.

Jika kita selalu membandingkan diri dengan orang lain, yang ada malah ngga ada rasa syukurnya.

Yang bisa kita lakukan saat ini adalah menjalani hidup sebaik-baiknya, tidak mengecewakan kedua orang tua dan berbakti kepada mereka sebagai bentuk rasa syukur telah dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga ini.

Ayah, Ibu, terima kasih ya 😊

A Year of Learning about Healthy Relationship

Setahun terakhir ini, aku sedang belajar menjalin relasi yang baik dengan pasanganku sekarang. Karena pasanganku adalah orang yang belum lama kukenal, jadi aku perlu melakukan observasi untuk bisa memahami karakter, sikap, pandangan dan kebiasannya. Dari kegagalan-kegagalan yang sebelumnya, membuatku banyak merenungi dan intropeksi diri. Sebelum siap berelasi dengan seseorang, ternyata kita harus bisa memahami diri sendiri dahulu.

Aku memulainya dengan kilas balik terhadap hubungan yang sebelumnya. Mengevaluasi konflik yang sering terjadi, bagaimana sikapku dalam menghadapinya saat itu, hingga berpikir berbagai kemungkinan mengapa aku ditinggalkan. Aku dengan sadar mengakui bahwa ada berbagai kekurangan dan ketidak dewasaanku saat itu, sehingga konflik sering terjadi dan tidak terselesaikan dengan cara yang baik. Aku mulai menyadari bahwa ada beberapa hal yang kubutuhkan, namun tidak diberikan oleh pasanganku saat itu. Berbagai hal tidak sesuai dengan ekspektasi, menimbulkan kekecewaan hingga tuntutan yang membebani satu sama lain. Juga banyak hal yang tidak dikomunikasikan dengan jujur sehingga banyak hal-hal yang ditutupi dengan asumsi "biar nggak jadi konflik", namun justru ternyata itu hanya menjadi bom waktu. Aku juga memikirkan tentang aspek lainnya, seperti fisik. Karena beberapa kali aku ditinggalkan dengan posisi yang tergantikan oleh orang yang lebih cantik. Aku pernah benar-benar kehilangan kepercayaan diri, hingga berjalan dengan muka menunduk karena saking tidak pedenya aku gara-gara hal tersebut. Kejadian itu membuatku sadar bahwa mungkin memang secara fisik diriku tidak masuk di preferensi pasanganku, namun tidak pernah disampaikan olehnya. Aku pernah berkali-kali mengalami silent treatment sebelumnya, dan tidak enak sekali rasanya mengalami hal itu. Aku jadi mencari tahu, bagaimana sih seharusnya menyelesaikan suatu konflik dengan baik? Saat bertukar pikiran atau menyampaikan pendapat pun juga aku merasa dulu sering mengalami gaslighting, yang membuatku meragukan pemikiran dan perasaanku sendiri. Dan sungguh tidak enak rasanya berada dalam kebimbangan batin seperti itu. Berbagai hal yang tidak mengenakkanku di masa lalu, membuatku tidak ingin hal itu terulang lagi, apalagi sampai membuat orang lain merasakan hal yang sama. Sungguh tidak enak rasanya. Berbagai perenungan itu membuatku bisa merumuskan hal-hal apa saja sih yang sebenarnya kubutuhkan? apa yang bisa membuatku nyaman? apa yang kuperlukan saat kondisi emosiku sedang kurang baik? aku ingin diperlakukan bagaimana oleh orang lain? preferensi pasanganku itu seperti apa? hal-hal apa yang tidak kusukai? Secara tidak langsung, proses itu membuatku jadi belajar mengenali diriku sendiri. Aku jadi mengerti kebutuhan emosionalku seperti apa, saat aku marah aku perlu apa, bagaimana cara untuk bisa membahagiakan diri sendiri, sampai preferensi pasanganku harus orang yang seperti apa. Dari memahami diri lebih jauh, dan bisa menyelesaikan konflik internal diri sendiri, akhirnya aku siap untuk kembali berelasi dengan orang lain.

Ketika pertama berkenalan dengan pasanganku yang saat ini, kami memulainya dengan saling bertukar pandangan soal hal-hal mendasar dalam hidup. Bagaimana cari kami masing-masing saat menilai sesuatu yang terjadi di sekitar, bagaimana cara dan gaya hidup yang sedang dan ingin dijalankan, apa visi dalam hidup, cita-cita apa yang ingin diwujudkan, bagaimana cara kami memandang masa lalu, apakah kami punya keinginan yang selinier, dan hal-hal mendasar lainnya. Dari situ kami bisa menemukan irisan yang sama dan menyimpulkan bahwa ternyata kami sefrekuensi. Kenapa sih harus sefrekuensi? Dari pengalamanku sebelumnya, aku merasa bahwa ternyata sefrekuensi itu sangat penting. Karena pasangan long-term akan menjadi teman hidup kita selamanya. Maka jika ingin hidup berdampingan dengan minim konflik, setidaknya harus sefrekuensi agar tidak sering berkonflik. Contoh kecilnya aja, bagaimana cara pandang terhadap ilmu pengetahuan. Apakah terbuka dengan science atau tidak. Karena hal itu erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. How come? Vaksin, hidup sehat, efisiensi energi dan waktu, dsb. Dan penting juga untuk memastikan apakah visinya juga sama. Seperti, apakah sama-sama ingin terus berkembang maju sehingga mau untuk selalu belajar, ataukah memilih untuk hidup dengan stagnan yang penting aman, tentram dan cukup.

Oh iya kami juga menyampaikan di awal mengenai cara menjalankan hubungan dan batasan masing-masing. Aku menyampaikan batasanku seperti apa, dan apa saja yang bisa kutoleransi maupun yang tidak bisa kutoleransi. Dia pun juga menyampaikannya. Dalam hal ini,  masing-masing dari kami punya metode menjalankan hubungan yang berbeda, sehingga batasan kami pun juga berbeda. Namun kami berdiskusi untuk bisa menemukan titik tengahnya. Aku agak melonggarkan batasanku, dia pun juga agak mengecilkan skala batasannya. Sehingga kami bisa saling menoleransi karena sudah memiliki titik tengah kesepakatan kami tentang batasan masing-masing. 

Kemudian kami juga sepakat untuk melakukan evaluasi berkala terhadap hubungan yang sedang dijalani. Minimal dua bulan sekali, atau satu bulan sekali jika diperlukan. Dan sejauh ini, hal itu cukup membantu kami untuk memperbaiki interaksi kami dari hari ke hari. Evaluasi itu biasanya meliputi, gimana hubungan ini berjalan, adakah ekspektasi yang belum terwujud, apa yang kurang dari pasangan, apa ada keinginan yang ditujukan untuk pasangan dan harus segera direalisasi, kemarin kenapa marah, apa yang dirasakan, inginnya respon yang bagaimana, dan biasanya ditutup dengan beberapa poin konklusi. 

Menurut pandanganku, penting untuk mengetahui cara pandang pasangan kita terhadap masa lalu. Kebetulan pasanganku saat ini memandang masa lalu dengan cara yang sama sepertiku. Kami berdua saling terbuka untuk aktif mendengar dan menghargai masa lalu masing-masing. Aku tidak marah saat dia menceritakan gimana kisah romantisnya dulu saat dengan sebelumnya, pun dia juga tidak marah saat giliranku yang bercerita. Dan memang ada saat dimana kita saling bernostalgia mengenang masa lalu masing-masing. Bagi kami, masa lalu itu bukan sesuatu yang harus dibenci atau dilupakan. Masa lalu tetap menjadi bagian penting dalam hidup karena itu yang membuat kita bisa menjadi sosok seperti sekarang ini. Menurutku wajar saja jika sesekali manusia menengok masa lalunya, jadi stalking mantan bukan sesuatu yang harus dipermasalahkan. Yang menjadi masalah apabila keseharian kita masih saja diisi dan dihubungkan dengan masa lalu, bisa dibilang berarti orang tersebut belum benar-benar move on dari masa lalunya. Sesekali adalah hal yang wajar, normal manusia merasa rindu dengan kenangan di masa lalu. Justru yang tidak wajar jika selalu merindu setiap hari. Kami saling menghargai masa lalu masing-masing. Karena merasa marah atau cemburu dengan masa lalu akan menjadi hal yang sia-sia, toh masa itu sudah berlalu, dan memang aku belum hadir saat itu. Jadi untuk apa harus marah atau cemburu?

Di keseharian kami pun, kami juga berusaha sebisa mungkin untuk selalu bertutur kata yang baik. Apapun yang terucap, walaupun itu kritik sekali pun, tetap harus disampaikan, namun ditata dalam bahasa yang lebih enak untuk didengar. Bahkan nada bicara pun juga sangat berpengaruh terhadap respon pasangan. Saat ini kami masih belajar dalam hal itu. Dan kami selalu menyampaikan apapun yang kami tidak suka. "Aku tidak suka kalau dibentak seperti itu. Lebih baik diam, kalau memang masih marah". "Aku ngga suka jika ceritaku hanya dijawab dengan satu kata, kesel dengernya, seperti tidak antusias." dan kami juga saling menyampaikan saran. "gimana kalau misalnya kamu menjawab dengan kalimat yang lebih panjang? ngga cuma satu kata doang kayak itu tadi." "kalo masih marah dan butuh waktu sendiri, tolong kasih tau ya. biar aku ngga dibentak karena merasa terganggu sama aku"

Secara tidak sadar juga, ternyata kami selalu menerapkan i-message dalam komunikasi kami. "Aku merasa kecewa karena blablablabla. Aku merasa ditinggalkan lho, dan itu membuatku sedih" kami selalu menjelaskan masing-masing dari sudut pandang kami dan perasaan kami. Sehingga satu sama lain dapat saling memahami. Sebisa mungkin kami juga meminimalisir terjadinya asumsi. Sudah ngga jamannya untuk mengkode atau menerka-nerka. Apapun itu, lebih baik disampaikan. Karena beberapa kali konflik terjadi biasanya dipicu karena asumsi masing-masing. "Aku pikir bakal nungguin aku disana. Jadi aku kesana. Eh ternyata nggak."

Aku rasa kunci dari semua komunikasi di atas adalah kemauan dari kedua belah pihak untuk saling berbicara jujur dan terbuka, bersedia untuk mendengar dengan empati sehingga bisa saling memahami satu sama lain. Ketika hal mendasar itu sudah terpenuhi, dan ditambah dengan mengelola emosi; intonasi serta pemilihan kata yang baik, akhirnya terciptalah komunikasi asertif dua arah. Hal itu yang selalu kami upayakan setiap harinya untuk meminimalisir terjadinya konflik.

Dan juga penting untuk mengetahui love language pasangan kita cenderung ke kategori yang mana. Hal itu erat juga kaitannya dengan kebutuhan dan ekspektasinya terhadap pasangan. Walaupun mungkin love languange kami berbeda, namun dengan kami memahami bahasa cinta masing-masing, kami jadi berupaya untuk saling memenuhi kebutuhan pasangan sesuai dengan bahasa cintanya. Kerap kali masalah yang sering terjadi di khalayak umum seperti, "kok kamu nggak kasih aku bunga sih? aku kan juga pingin diromantisin pake bunga-bunga gitu". "kok aku nggak dipuji ganteng sih?" dan semacam itu. Ini sangat bisa untuk dikomunikasikan baik-baik. Kebutuhan cintanya seperti apa dan ingin diperlakukan bagaimana. Jadi ekspektasi pasangan akan terpenuhi dengan mudah karena tahu kebutuhan dan harapannya bagaimana. Less complaining, more appreciating. And there will be so much love 😊

Kemudian kami pun juga sudah punya hobi dan kesenangan masing-masing. Jauh sebelum kami memutuskan berhubungan, kami sudah mengenali diri sendiri. Aku senang memasak, dia senang main game. Caraku menghilangkan stress adalah dengan jalan-jalan, sedangkan dia butuh main musik. Karena kami punya hobi, kami jadi tidak selalu bergantung satu sama lain dalam menghabiskan waktu. Kami punya waktu yang cukup untuk bisa bahagia dengan diri sendiri. Kami juga tidak melarang satu sama lain untuk melakukan hobinya. Selama hobi itu baik, tidak berlebihan atau merugikan, kami bebas melakukannya. Dan karena kami berdua sama-sama senang belajar sesuatu yang baru, jadi kami pun juga saling tertarik untuk mencoba hobi satu sama lain. Dia mengajak aku main game, aku pun juga sedang berupaya bisa merealisasikan untuk bisa bikin kue bareng. Dengan mencoba kegiatan masing-masing, kita juga bisa saling mengerti kenapa hal ini seru menurut pasangan, dan saat pasangan cerita soal kesenangannya pun akhirnya aku juga bisa memahaminya karena sedikit tahu soal apa yang diceritakannya. Menurut kami, setiap manusia pasti butuh waktu untuk menyendiri, menyenangkan dirinya dengan kegiatan yang disukainya. Jadi tidak ada tuntutan untuk 24 jam harus menemani. Justru dengan kami bisa menyenangkan diri sendiri, kami akhirnya bisa menciptakan vibe yang selalu menyenangkan dalam hubungan, karena tidak ada yang terbebani satu sama lain untuk harus membahagiakan pasangan. Ada yang pernah bilang bahwa sesungguhnya hubungan itu saling memberi, bukan meminta bahkan memaksa. Ketika dua manusia sudah cukup berdamai, membahagiakan dirinya sendiri dan mencintai diri sendiri, itu artinya dia sudah siap untuk berbagi kebahagiaan dan cinta kepada orang lain. Jadi harus dipastikan terlebih dahulu, apakah sudah mencintai diri sendiri? apakah sudah merasa cukup bahagia dengan diri sendiri?

Oh iya walaupun kami memiliki kesukaan yang berbeda, hal itu tidak mengharuskan kami untuk ikutan saling menyukainya kok. Seperti selera musik. Dia suka EDM, aku suka folk-pop. Kami tetap saling berbagi musik, dan saling mendengarkan kesukaan pasangan. Mungkin memang tidak masuk di selera telinga, tapi dengan kita mau untuk ikut mendengarkan, ikut penasaran, dan tidak mengejek selera seseorang, aku rasa itu sudah cukup menghargai kesenangan seseorang.

Untuk mengatasi rasa bosan kami, kami selalu berusaha untuk menciptakan berbagai kegiatan yang menarik juga untuk dilakukan bersama. Mulai dari co-op main game stardew valley; astroneer; terraria; board game; dan lainnya, menyusun aqua beads, nonton film, main pickle ball tiap minggu di GBK, mengunjungi tempat-tempat menarik sampe akhirnya kami punya project bareng jualan kaos. Ternyata hal-hal seru ini juga secara tidak langsung membantu kami untuk mengukur kecocokan dan teamwork kami. Kami berbagi tugas, tidak jarang juga berselisih pendapat, serta berusaha menyikapi kesalahan pasangan. Semua itu membuat kami jadi belajar untuk bisa berdiskusi, bersepakat, berdamai, solving problem bareng, memaafkan, hingga akhirnya kami semakin tau gimana karakter pasangan apabila bekerja bersama dalam satu tim.

Konten percakapan kami sehari-hari pun juga beragam. Mulai dari saling berbagi meme receh, video kucing, berita-berita yang sedang hangat, sampai berbagi pengetahuan baru. Seringkali sih, ketika kami menemukan sesuatu atau artikel yang menarik, kami selalu bertanya opini kami masing-masing. Entah sudah berapa banyak kalimat "what do u think? whats your opinion about this?" wkwk saking seringnya kami membahas sesuatu yang kami dapat. Jadi pembicaraan pun tidak membosankan, karena tetap ada yang menarik untuk dibahas, dan tidak melulu hanya berisi pesan default ala pasangan seperti "udah makan belum?" "jangan lupa makan ya". Dan disini tidak ada yang merasa menjadi "Mr.Know-it-All" atau merasa paling ngang ngong. Kami saling berbagi karena ingin pasangan kami juga ikut tahu, bukan kemaruk akan informasi untuk dirinya sendiri. Oh iya penting juga punya selera humor yang sama wkwk

Saat berkonflik pun kami juga selalu berusaha menyelesaikannya dengan kepala dingin, tanpa emosi, berintonasi rendah, tetap berupaya mengucap kata yang baik serta fokus pada permasalahan dan penyelesainnya. Kami selalu berusaha untuk tetap mendiskusikannya secara dua arah, memberi kesempatan masing-masing untuk berbicara dan menyampaikan isi hatinya. Biasanya diskusi ini ditutup dengan solusi dari konflik tersebut yang berupa kesepakatan kami serta tindakan preventif agar konflik serupa tidak terjadi lagi. Tidak lupa juga saling bermaafan, no hard feeling. Jadi tidak akan ada drama mengungkit-ngungkit konflik ini lagi di kemudian hari. Tapi syukurlah sejauh ini kami pun jarang berkonflik. Dan kami baru menyadarinya akhir-akhir ini bahwa ternyata apa yang kami lakukan itu adalah penerapan dari cara berkonflik yang sehat setelah membaca artikel ini. Wah sungguh senang rasanya ketika menjalani hubungan yang sehat seperti ini. Sempat terbesit waktu di awal, "apakah ga pernah berkonflik adalah sebuah red flag dari suatu hubungan?" mungkin karena dulunya aku selalu dihadapkan pada hubungan yang sering konflik dan drama, sehingga menghadapi kondisi idealnya yang seharusnya memang sehat kayak gini, jadi ragu sendiri.

Saat ini kami masih belajar dan sama-sama bertumbuh ke arah yang lebih baik. Selain menjadi teman bertukar pikiran dan cerita, kami juga saling memberi masukan ini itu saat masing-masing dari kami sedang menghadapi kondisi yang sulit. Kami tetap membebaskan satu sama lain untuk membuat keputusan sendiri jika memang itu berkaitan dengan diri sendiri saja. Pasangan hanya memberi guide dan bantu menganalisa pros dan cons-nya saja. Namun jika keputusan itu berpengaruh pada hidup pasangan juga, kami pasti memutuskannya bersama.

Selain memotivasi dan memberi dukungan untuk pasangan, kami juga selalu berupaya mengapresiasi tiap hal kecil yang dilakukan oleh pasangan. Dengan mengapresiasi, tentu orang akan lebih bersemangat untuk melakukan hal yang lebih lagi. Justru jika hal kecil saja diabaikan, tidak diapresiasi, orang akan kecewa dan enggan melakukannya lagi, apalagi melakukan sesuatu yang jauh lebih besar. Jadi sebelum mengharapkan sesuatu yang besar, penting bagi kita untuk menengok hal-hal kecil yang sudah dilakukannya. Aku rasa ini berlaku di semua interaksi manusia. Bukan hanya kepada pasangan saja. Karena hal ini kupelajari di sekolah saat mengobservasi interaksi dan tingkah laku anak-anak.

Perjalanan kami masih panjang, dan masih banyak PR yang harus dikerjakan untuk dapat berelasi lebih baik lagi dengan pasanganku. Sejauh ini aku sangat senang memiliki pasangan bertumbuh yang sama-sama berusaha menjadi orang yang lebih baik. Tidak ada yang merasa dominan atau yang paling benar. Dari semua perjalanan hidupku selama 26 tahun ini, aku rasa hubungan kali ini adalah yang paling sehat dan tenang. Less drama, no toxic toxic club, dan memberi pengaruh yang sangat baik terhadap hidupku. Setahun ini juga rasanya masih bisa dikatakan waktu yang pendek untuk bisa mengetahui karakter dan watak asli seseorang. Kami berdua sama-sama saling berusaha untuk bisa saling memahami dan saling mengisi kekurangan satu sama lain. Aku harap di tahun-tahun berikutnya, kami bisa menjadi manusia dewasa yang lebih baik dan lebih bijak lagi. Serta cita-cita dan wishlist kami bisa tercapai satu persatu.



konflik terbaru beberapa minggu lalu xixi
kurang lebih seperti ini kalo pembicaraannya masih ada emosinya dikit 🙈
keliatan bahasanya to the point, kurang dipoles dengan kalimat yang lebih enak didenger haha
tapi masalah tetap terselesaikan dengan baik, saling mengakui kesalahan tanpa menyalahkan, saling bermaafan dan no hard feeling after all ✌



tapi biasanya kurang lebih seperti ini cara kami menyampaikan kritik dan perasaan masing-masing.
hal itu akan berlanjut dengan saling memberi pendapat dan saran




kalo sudah tidak ada bahasan, bertukar sticker receh hahaha

atau sharing berbagai hal sampe isi chat mostly link-link kayak gini doang wkwk

bonus foto mabar kami



dan bonus foto kami waktu pulang kampung😙

Crafting Diary #1 - Kaktus dan Mini Greenhouse

Pada awal tahun 2019, tepatnya di semester terakhirku duduk di bangku perkuliahan, aku sedang senang dan tertarik dengan kaktus. Pertama kali aku melihat berbagai jenis kaktus yang unik membuatku langsung tertarik untuk menjualnya. Kemudian aku mengajak salah seorang sahabatku untuk berjualan kaktus di daerah kampus. Kami berjualan kaktus sebagai kado wisuda, karena memang belum ada kado wisuda yang berbentuk seperti itu sebelumnya. Sehingga kami mengemas kaktus tersebut dalam bentuk yang unik dan cantik. Karena saat itu kaktus belum terlalu hits, maka aneka ragam kaktus ini masih tergolong murah harganya. Kami juga menjual paket kado wisuda tersebut dengan harga yang terjangkau. Aku pun rela untuk bolak-balik belanja kaktus ke luar kota sebagai stok jualan kami.

pesanan dari himpunan di jurusanku ^^

pesanan dari teman hihi

behind the scene sekaligus memotret produk jualan yang lain

salah satu pricelist kaktus yang dijual


story teman yang beli hihi

saat belanja kaktus pulang dari kampus banget wkwk

Sayangnya dikarenakan kami sibuk dengan kegiatan kami, maka bisnis itu tidak berlanjut. Walaupun bisnis itu tidak berlanjut, namun rasa ketertarikanku terhadap kaktus masih ada. Akhirnya aku pun tetap merawat beberapa kaktus di rumah, sebagai koleksi pribadi. Saat itu pengetahuanku tentang dunia tanam-menanam masih sangat dangkal, apalagi perawatan kaktus juga gampang-gampang susah. Gagal dan kaktus mati sudah kualami berkali-kali. Terutama saat awal-awal dahulu, ketika aku belum paham bahwa sebuah tanaman pun butuh adaptasi. Kasus yang paling sering terjadi adalah ketika kaktus yang baru saja kubeli dari sebuah daerah dataran tinggi bersuhu rendah kemudian mendadak mati saat kubawa ke Surabaya dan hidup hanya beberapa hari di rumahku. Padahal aku juga tidak menyiramnya maupun terkena air hujan. Rasanya saat itu aku hanya menaruhnya di tempat yang terkena sinar matahari, dengan pikiran bahwa kaktus akan tetap hidup dengan paparan sinar panas layaknya kaktus yang kulihat di film koboi-koboi. 


mencoba memakai berbagai media tanam ala terarium

rak ini crafting hasil tangan ayah dan aku xixi

Setelah berbincang dengan beberapa penjual kaktus, akhirnya aku paham bahwa sepertinya penyebab matinya kaktus-kaktusku adalah karena mereka kaget dengan perubahan suhu tempat hidupnya. Karena aku membelinya dari daerah dataran tinggi bersuhu rendah, otomatis suhunya sangat kontras dengan suhu di tempat tinggalku yang berada di dataran rendah. Walaupun memang kaktus membutuhkan cahaya matahari, namun tidak serta merta itu akan baik-baik saja hanya dengan ditaruh di bawah tempat dengan paparan sinar matahari. Ternyata suhu pun juga berpengaruh. Para penjual kaktus tersebut menyarankanku untuk melakukan semacam karantina terlebih dahulu. Dengan cara pelan-pelan mengenalkan kaktus pada suhu tempat tinggalnya yang baru. Jadi aku pun membuat masa karantina untuk kaktus-kaktus yang baru saja kubeli. Aku menaruh kaktus itu di dalam kamarku sekitar 3 hari. Karena kamarku selalu dingin saat malam hari dari AC yang kunyalakan tiap aku tidur. Selanjutnya kaktus-kaktus itu akan kupindahkan ke luar kamar, namun tetap di dalam rumah. Aku menaruhnya di ruang tamu dengan suhu rata-rata sekitar 27-30 Celcius selama sekitar 1 minggu. Tentunya kaktus tersebut tetap aku jemur setiap pagi selama 15-30 menit di bawah paparan sinar matahari pagi, dan aku siram air dengan semprotan kecil setiap 5 hari sekali. Setelah fase di ruang tamu itu selesai, barulah kemudian kaktus tersebut kukeluarkan dari dalam rumah dan siap kutaruh di teras rumah. Percobaan itu ternyata berhasil, karena kaktus-kaktus yang kutaruh di teras rumah ternyata tetap dapat beratahan hidup 2 minggu setelahnya. Akhirnya dari situ aku paham bahwa sebuah tumbuhan pun juga butuh yang namanya proses adaptasi. Sama seperti kita sebagai manusia, bukan?

masa karantina di kamar wkwk

Kemudian aku pun tertarik untuk membuat suatu wadah khusus bagi kaktus-kaktusku. Karena aku tidak memiliki greenhouse serta rumahku belum menunjang hal itu, maka aku berinisiatif untuk membuat mini greenhouse. Setelah browsing sana sini, akhirnya aku menemukan sebuah preseden yang bisa aku contoh dan sepertinya mampu kuaplikasikan di rumah. Kurang lebih bentuknya seperti ini.


source: pinterest

Dikarenakan halaman rumahku tertutup paving block sepenuhnya, maka tidak mungkin aku mencangkul tanah untuk dijadikan greenhouse yang sama persis seperti gambar tersebut. Maka aku mendesainnya dengan menambahkan lantai pada bagian bawahnya dan dinding pendek di sisi kiri kanannya. Akhirnya berangkatlah aku ke toko bahan maket karena bahan kayu yang kupilih adalah kayu balsa. 


Saat itu kemampuanku dalam mengolah kayu sangat terbatas. Walaupun terdapat mesin gerindra di rumah, namun aku masih takut dan belum mahir menggunakannya. Jadi aku memilih kayu yang mudah untuk dipotong, ringan dan cukup kuat. Dalam pikiranku hanya kayu balsa yang terbayang, karena hanya kayu itu yang pernah kupakai sebelumnya saat kuliah membuat berbagai maket. Aku memilih kayu balsa yang paling tebal beserta batang kayu sebagai rangkanya. Karena kayu balsa cukup empuk, maka mudah saja apabila menancapkan paku pada permukaan kayu tersebut. Jika ingin lebih kuat, bisa ditambahkan lem kayu juga sebagai perekatnya. Akhirnya setelah rangkanya selesai, aku pun menambahkan penutup pada bagian atapnya. Pemilihan materialnya juga tidak bisa asal. Karena aku membutuhkan penutup yang memungkinkan cahaya matahari tetap masuk, namun dapat mereduksi sinar UV matahari. Setelah berbincang dengan pedagang tanaman, akhirnya aku mencoba saran mereka untuk menggunakan plastik uv filter dan paranet.




Di bagian paling atas terpasang plastik uv filter. Gunanya agar sinar matahari tetap dapat masuk menyinari tanaman-tanaman di bawahnya. Mengingat tanamanku adalah kaktus yang tidak boleh sembarangan terkena air, maka plastik uv filter ini cocok dipakai pada bagian atas karena tidak memiliki lubang sehingga tanamanku aman dari tetesan air. Plastik UV filter ini dapat mereduksi paparan sinar UV, sehingga tanamanku tidak akan menerima sinar matahari Surabaya yang luar biasa.
Di bagian kedua, kupasang paranet. Paranet ini memiliki kerapatan yang berbeda-beda jika kita mencarinya di toko-toko. Semakin rapat benang-benang paranet, semakin bagus kemampuannya dalam menahan intensitas cahaya matahari yang mengenai tanaman. Aku memilih paranet dengan kerapatan sedang, sehingga sinar matahari tetap dapat menyinari namun menjadi lebih teduh.
Untuk memasang kedua penutup ini, aku menggunakan staples khusus kayu. Sebenarnya bisa juga memakai paku, namun aku memilih staples agar lebih mudah saja. Dan taraaaa! Akhirnya mini greenhouse-ku jadi juga. 




Aku mencobanya dalam 1-2 hari, ternyata agak membutuhkan effort untuk memindahkan greenhouse ini. Terkadang aku masih khawatir tanamanku terkena air karena ternyata agak tampias dari samping saat hujan turun. Sehingga aku masih mengeluarkan dan memasukkan greenhouse ini setiap pagi dan malam. Akhirnya ayah memberi ide untuk diberikan roda pada bagian bawahnya supaya lebih mudah untuk dipindahkan, serta memberi tambahan selembar kayu triplek untuk bagian bawahnya agar jauh lebih kuat. Kemudian untuk mengurangi tampias dari kanan dan kiri, aku juga menambahkan semacam tirai yang dapat digulung ke atas dan ke bawah dari plastik UV filter. Saat hujan turun, tirai plastik itu tinggal diturunkan saja gulungannya sehingga greenhousenya aman dari cipratan air.


tirainya seperti yang di sebelah kiri


Mini greenhouse ini pun selesai dan aku cukup puas dengan hasilnya. Karena ternyata kaktus-kaktusku memang dapat tumbuh dengan baik di dalam sini. Sayangnya, dikarenakan kucingku sangat tertarik dengan greenhouse ini, beberapa bulan kemudian rangka atapnya patah karena kucingku suka sekali tidur di bagian paranetnya layaknya hammock yang nyaman untuk rebahan. Tapi memang dari pemilihan materialku juga yang kurang kuat, akhirnya mudah patah dan rusak. Mini greenhouse ini pun akhirnya rusak dan terbengkalai. Sangat disayangkan sekali. Tapi aku senang dan bangga pernah berhasil membuat ini. Jika di lain kesempatan memungkinkan untuk berkebun, aku masih tertarik merawat kaktus dan semangat untuk kembali membuat greenhouse semacam ini hihi.

Oh iya kayu balsa yang masih tersisa akhirnya aku potong menjadi kotak-kotak dan kurangkai menjadi pot untuk kaktusku. Untuk menempelkan kayu-kayu ini hanya membutuhkan paku kecil dan lem kayu saja. Lalu aku percantik dengan memberinya cat. Untuk bisa membuat catnya tahan lama, bisa dipoles dengan semacam plitur semprot khusus kayu. Tidak lupa pada bagian bawahnya kuberi lubang-lubang kecil sebagai jalan keluar mengalirnya air.





Dan aku juga pernah belajar menyemai kaktus dengan cara memperbanyaknya sendiri. Kaktus-kaktus kecil ini bisa tumbuh akar sebagai tanaman baru yang siap ditanam. Sayangnya aku selalu gagal saat proses menempelkannya ke batang buah naga agar punya batang yang kokoh. Sepertinya aku harus belajar lebih banyak lagi hihi.



(1/2) notes from 2022

"one day, in retrospect, the years of struggle will strike you as the most beautiful" -Sigmund Freud

Kali ini aku ingin menuliskan pelajaran apa saja yang kudapat dari rentetan peristiwa di setengah tahun 2022.